Kamis, 05 Desember 2013
Senin, 11 November 2013
SEJARAH (GERAKAN 30 SEPTEMBER)
GERAKAN 30 SEPTEMBER
Gerakan 30 September atau yang
sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh),
Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah kejadian yang terjadi pada tanggal
30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta
beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut
sebagai usaha kudeta yang dituduhkan kepada anggota Par Komunis Indonesia
Latar belakang
PKI merupakan par Stalinis yang
terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Sovyet. Anggotanya
berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga
mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan
pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota.
Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), Organisasi penulis dan artis
dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan
pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen
dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali
lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata
dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno
menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan
Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi
Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional
dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, Inflasi terus menaik dan korupsi
birokrat dan militer menjadi wabah.
Angkatan kelima
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di
Jakarta pada awal tahun 1965
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di
Jakarta pada awal tahun 1965
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke
Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan untuk mempersenja 40 batalion
tentara secara lengkap, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian
dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai
meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno
mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI.
Pandangan lain mengatakan bahwa PKI-lah yang mengusulkan pembentukan Angkatan
Kelima tersebut dan mempersenja mereka. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak
setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer
dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin
lama makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara Aktivis massanya
dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan
bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami
slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan
Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari
"sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua
pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek
karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965
ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar.
Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik
tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau
semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap
para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain,
termasuk angkatan bersenjata.
Pada permulaan 1965, para buruh
mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI
menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama,
jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya
duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi
mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata
adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Pengankatan jenazah dari sumur lubang buaya
Pengangkatan
Jenazah di Lubang Buaya
Aidit memberikan ceramah kepada
siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang
"perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara
tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para
komunis".
Rejim Sukarno mengambil langkah
terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan
PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan
NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan
jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim militer, menyatakan keperluan
untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang
terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan
mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang
berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan
massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka,
depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa
"NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan
bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI
tetap berusaha menekan Aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia.
Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer
dan negara sedang diubah untuk memecilkan Aspek anti-rakyat dalam
alat-alat negara.
Isu
sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang
meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini
meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno
meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno
hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan
tindakan tersebut.
Isu
masalah tanah dan bagi hasil
Pada tahun 1960 keluarlah
Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang
Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari
Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang
menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani
yang mencerminkan 10 kekuatan par politik pada masa itu. Walaupun
undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga
menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah
yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan
melibatkan backing Aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam
rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan
peristiwa di Klaten yang disebut sebagai aksi sepihak dan kemudian digunakan
sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.
Sementara itu di Jawa Timur juga
terjadi keributan antara PKI dan NU. Kiai-kiai NU yang kebanyakan tuan tanah
menolak gerakan PKI untuk membagi-bagikan tanah kepada petani yang tidak
memiliki tanah.
KORBAN
DALAM G 30 S PKI
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh
tersebut adalah:
* Panglima Angkatan Darat Letjen TNI
Ahmad Yani,
* Mayjen TNI R. Suprapto
* Mayjen TNI M.T. Haryono
* Mayjen TNI S. Parman
* Brigjen TNI D.I. Panjaitan
* Brigjen TNI S. Siswomiharjo
Jenderal TNI A.H. Nasution juga
disebut sebagai salah seorang target namun dia selamat dari upaya pembunuhan
tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan Ajudan AH
Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya
juga turut menjadi korban:
* AIP Karel Satsuit Tubun
* Brigjen Katamso Darmokusumo
* Kolonel Sugiono
Para korban tersebut kemudian
dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang
Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Video G 30 S PKI
Langganan:
Postingan (Atom)